Salah satu dari mereka
Pernahkah kau bertanya,
“apa yang kau rasa hari ini?”
Tidak, padahal kau tau jawabnya
“aku kesepian”
Begitu yang ada dibenak ku setiap waktu Pah, sepertinya mata ku memang telah benar-benar bocor, tak ada hari yang tak ku lewati dengan tangis. Aku seperti mendapati diriku di tinggali kematian yang mendalam. Kau jadi lebih lembut dari Mama, Pah. Aku kirim pesan pada mama di Jawa sana, “Mah, ayu mau bunuh diri”, dan balasan yang ku terima adalah “ayu, kamu jangan bikin mama pusing, mama lagi berkabung di sini”. Aku tak tau harus apa, selain berpura-pura terlelap di meja yang bahkan pemiliknya lah yang membuat aku jadi seperti ini. Kalau aku menoleh, yang aku dapatkan hanyalah tatapan tajam dari beberapa pasang mata yang menghakimi. Aku tak tau kemana harus pulang, aku tak tau apa itu tujuan. Aku pulang sendirian. Aku tau kau menatap ku lewat hordeng kamar ku Pah, dan kau merasa ada sesuatu dengan ku, tapi takut bertanya karena kau pun bersalah pulang kemalaman. Aku kelelahan, bertanya pada diri ku sendiri, apa salah ku? Dan ada apa dengan orang-orang? Aku keletihan.
Dan aku merasa bodoh ketika tahu kau dan Mama pasti mencari tau ada apa dengan ku, dan aku hampir lupa bahwa kau akan menelefon Mama dan saling tukar pikiran, tentang rumah makan, hutang-hutang yang harus di bayar, uang kuliah putri, dan masih banyak lagi di tambah sms ku yang ingin bunuh diri tadi siang. Betapa tak tau diuntungnya diri ku, Pah. Sorenya, mereka membuat ku terperosok ke jurang paling dalam, tak ada yang mau mengangkat telfon dari ku. Aku kebingungan.
Tak ada respon dari mu Mah, aku ketakutan, satu-satunya yang bisa aku perbuat adalah berdoa, meski aku bukan seorang muslim yang taat beribadah, biarlah aku berusaha memanjatkan doa ku, mestipun aku tak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi mereka itu dewasa Pah, mereka adalah manusia-manusia yang sudah dimasak oleh proses, yang mereka bilang menyakitkan meski belum tentu menghasilkan. Bicara itu yang mereka mau, maka kami berkumpul di tempat dulu kami biasa berpeluh bersama, aku katakan, mereka bilang, dan ku keluarkan segalanya, yang aku rasakan, bahwa aku kebingungan. Ternyata mereka juga kebingungan, dan ketika aku tersadar bahwa kami semua tidak sedang berkumpul untuk gerak walet, atau sekedar membahas naskah, kami juga tidak sedang di sorot lampu pangungg yang berwarna-warni, memakai kostum dan dandanan panggung atau harus mengatur bloking dan vokal, tidak. Kami sedang di dunia nyata, dan penderitaan bukanlah buatan sang penulis naskah, tapi Tuhan.
Rasanya seperti baru menelan ribuan paku payung yang turun lewat tenggorokan sampai aku tak tau harus bicara apa, dan hanya bisa menangis sesenggukan. Lalu menancap di hati. Ternyata yang membuat segala kebingungan selama ini adalah Dia, orang yang biasa jadi tempat sampah untuk segala curahan hidup ku yang sama sekali tidak penting, orang yang membuat aku ingat kisah hidupnya jika sedang marah pada kedua orang tua ku. Miris dan teriris.
Aku tak tau harus apa, menyalahkan Dia? Yang bahkan ke kamar mandi saja ia yang mengantar, ratusan foto bersamanya cuma berdua, wisata kuliner tiapa hari jumat sepulang sekolah berdua, semuanya berdua. Tapi ia menyakiti ku sendirian, bukan berdua, kenapa tak bicara langsung, ah entah apa harus ku salahkan takdir seperti dalam cerita Buronan Detik? Kenapa harus dia ya Tuhan..
Untungnya aku masih memiliki manusia-manusia super, semua seolah selesai. Tapi tidak bagi ku, aku masih hendak bertanya, apa salah ku Tuhan? Kenapa harus berakhir dengan pengkhianatan? Aku frustasi.
Belasan strip habis, aku bahkan tak sempat membaca labelnya, aku mau mati saja, itukah yang akhirnya di sebut sebagai tujuan? Sudah punya penyakit, sekarang di tambah minum obat2an, lengkap sudah rusaknya aku. Jam 12 malam saat itu, aku buang2 air, dan jantung ku berdetak amat cepat, Mama di jawa, Papa blm pulang, dan Lek Turi Cuma bisa membuatkan segelas teh manis hangat, yang ia tau, mungkin aku masuk angin lalu mencret-mencret..
Pukul 2 malam, Papa, salah satu manusia super ku datang, di bangunkannya aku dari tidur ku, dan aku tak bermimpi malam itu, mungkin Tuhan bosan memberi yang baik atau yang buruk sekalian. Ia mencampur dua bungkus antangin cair dengan segelas teh hangat, tak ada perubahan, ia pergi entah kemana untuk beli 4 kaleng susu beruang rasa original. Satu kaleng dan aku muntah, ah sial! cuma Papa yang tau apa yang aku lakukan kalau sudah frustasi. Atau mungkin lek turi yang ngasih tau Papa. Besok paginya aku tetap sekolah dan bingung harus apa,aku tetap duduk disebelahnya, namun kali ini cuma hampa yang aku rasa, aku seperti kembali asing, tak kenal dan tak mau lagi kenal siapa dia.
Suatu pagi, aku lupa kalau sudah pesan bukunya Seno G.A, lewat inibuku.com, bukunya datang pagi-pagi sekali, kemudian aku baru sadar ketika, Papa sok memajangnya di meja, ia bilang “abis mau bunuh diri kok belinya buku ginian? Bunuh diri ni ye.. hehehe, kalo tidur masih masuk ke ketek papa aja sok bunuh diri heheheh..".
begitu lah aku Pah, justru karna aku terbiasa jadi anak manja, aku kehilangan segalanya dan tak tau harus apa.
Hahahha cuma beliau yang tau bagaimana caranya menjadikan sesuatu yang getir jadi lelucon, aku lupa kalau yang aku pesan itu judulnya ‘aku kesepian sayang, datanglah menjelang kematian’. Yang belum aku bilang adalah, aku beli buku itu bukan untuk dibaca Pah, meski akhirnya memang ku baca isinya, sampai aku jadi jatuh cinta pada SGA. Aku beli buku itu hanya agar aku tak merasa sendiarian lagi, suapaya ada hal yang bisa ku lakukan di sekolah, selain belajar dan diam tentunya.
0 komentar:
Posting Komentar