THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Daisypath Anniversary tickers

Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

Minggu, 07 Maret 2010

apalagi menahan ego ku..

Dia bilang “bukan tak bisa biasa namun kau memang tak pernah ingin untuk berubah jadi biasa untuk ku”.
Aku hanya tersenyum melihat ia berkata begitu. Karna bukan sekali, sering ia keluhkan sifat ku yang sulit bilang cinta. Atau mengkotak-kotakan ia sebagai laki-laki yang kekanak-kanakan. Salah ku. Semalam sesudah ia pulang pemotetran band barunya, aku masih ingin bertanya kenapa tak tinggalkan aku saja kalau ia, tak bisa menunggu ku berubah. Atau berpaling pada yang lain meski kami masih dalam satu ikatan, aku rela. Aku tak ingin ia keletihan, terlalu memaksa dirinya untuk merubah ku. Ingin sekali aku bertanya. Malah aku sempat cerita tentang bagaimana lelucon-lelucon bodohnya kalau kami berbincang di telepon dengan Kang Bima dan Kang Bima mengajari ku hal-hal apa saja yang bisa membuatnya nyaman, meski dalam hati aku berdoa “ya Allah andai semua yang membuatnya bisa ku lakukan, dengan keangkuhan ku yang setinggi gunung es ini..”. Tentu saja hanya pada bagian yang lucu-lucu saja, bukan pada saat kita saling diam, tanpa menutup saluran telepone, atau bagian dimana saat aku ingin memukul tubuhnya berkali-kali dan menangis sampai puas. Bagian itu, biar kami saja yang tahu. Tapi ia terlalu lama pulang, dan aku terlalu malas untuk menunggu kepulangannya. Aku terlalu egois. Dan ketika ia pulang dengan wajah letih, aku hanya bisa bersandar di pojokan sembari menghisap tembakau ku dalam-dalam. Dan ia menghampiri, mencari ku di pojokan. Tau kah ia aku sedang kesal padanya saat itu?. Tapi aku tahu ia letih. Dan tak mungkin kita berseteru di depan anak-anak di saung. Aku terpaksa menurunkan ego ku, sementara. Menurunkan nada suara ku, ketika bicara dengannya. Kepalanya pusing, dan ia bersandar pada lutut ku saat itu. Amarah ku sudah menguap bersama asap-asap djarum super dari hisapan paru-paru kami. Suhu badannya naik, dan aku tak tau bagaimana harus bersikap. Aku tak biasa mengurus kesakitan orang lain, mengurus diri ku sendiri pun kadang terlalu berat untuk itu. Aku ingat kata Kang Bima, ‘tarik saja rambutnya, dan tekan pelan-pelan kalau ia sakit kepala’. Dan ia menikmatinya, persis seperti ayah ku yang sedang kumat migrainnya. Aku senang bisa menyenangkan ia meski hanya dalam bentuk pijatan untuk kepalanya yang sakit. karna memang mungkin hanya itu yang aku bisa. Sampai satu persatu teman kami pulang ke rumanhnya masing-masing. Tinggal aku dan dia, dan lagi-lagi. Ia tetap si bodoh yang tetap bodoh sampai kapan pun. Kunci motornya hilang. Dan kami harus mencari di sisi-sisi nisan dengan hanya penerangan ponsel. Ternyata tersimpan di kantung jaket. Idiot. Sesudah itu, bukannya pulang ia malah tiduran di paha ku, dan aku harus mendengar ceritanya tentang sesi foto-foto bersama band barunya. Sebagai pendengar tentu aku diam saja, atau sekali-kali berkomentar saja. Sampai-sampai Babe yang sedang mengajar muridnya, harus mengingatkan kalau waktu hampir tengah malam dan kami tak boleh pulang malam-malam. Aku lupa, pada kesal ku. Lupa pada amarah ku, padahal aku sedang kesal saat itu. Untuk pertama kalinya, aku mengalahkan ego ku, semoga bisa begitu seterusnya.

0 komentar: